Thursday, November 13, 2008
baca selengkapnya..
Peringatan Hari Ozon Bukan Hanya Kegiatan Seremonial


Setyo Rahardjo - 19 Sep 2008
Peringatan Hari Ozon yang jatuh setiap 16 September hendaknya bukan hanya menjadi kegiatan seremonial perayaan hari jadi pengesahan Protokol Montreal, tetapi lebih mengarah kepada sarana bagi kita semua untuk melihat kembali jejak langkah yang telah dilalui di masa lalu sebagai bahan masukan dalam menetapkan langkah yang harus kita ambil pada tahap berikutnya.

”Oleh karena itu, kegiatan pada hari ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bertujuan agar seluruh pihak dapat berdiskusi secara aktif, membahas apa yang selanjutnya perlu kita lakukan bersama untuk melindungi lapisan ozon,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir. Rachmat Witoelar, ketika menjadi narasumber dalam acara Diskusi Panel Perlindungan Lapisan OZON Memperingati Hari Ozon Internasional, yang diadakan di Jakarta, Selasa (16/9).

Tema peringatan Hari Ozon tahun ini, yaitu ”Global Partnership for Global Benefits”, merefleksikan kemitraan yang telah dilakukan oleh masyarakat dunia dalam melindungi lapisan ozon untuk kepentingan seluruh kehidupan di bumi. Meskipun kemitraan yang telah berjalan sifatnya global, namun aksi nyata yang dilakukan sebenarnya adalah pada tataran lokal yang memerlukan dukungan dan komitmen dari masing-masing individu, baik masyarakat umum pengguna produk yang mengandung BPO ataupun industri yang menggunakan BPO dalam kegiatan proses produksinya.

”Kerjasama baik yang telah berhasil dilakukan di tingkat global, perlu diterapkan juga di tingkat nasional dan lokal dengan memperkuat kemampuan seluruh institusi dan SDM pendukung,” katanya.

Mengingat BPO digunakan secara luas di berbagai sektor kegiatan dan penggunaannya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, maka penguatan kapasitas instansi terkait dalam pengawasan BPO akan terus dilaksanakan tidak hanya berhenti pada tingkat provinsi tetapi juga sampai kabupaten dan kota, dengan memperhatikan skala prioritas penanganan program.

Witoelar kemudian menerangkan bahwa dengan telah ditetapkannya berbagai peraturan pengawasan dan pengendalian BPO, maka program penguatan kapasitas bagi petugas penegak hukum juga bersifat strategis. Masih ditemuinya kasus-kasus pemasukan dan peredaran BPO ilegal, menjadi indikasi bahwa penegakan hukum belum dapat dijalankan sepenuhnya dan belum menimbulkan efek jera bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran baik sengaja maupun tidak sengaja.

Melalui program peningkatan kapasitas, seluruh petugas pengawas akan memiliki pemahaman umum dan teknis yang memadai sehingga dapat melakukan tugas pembinaan dan pengawasan dengan baik.

”Penyediaan alat bantu pengawasan yang memadai, seperti misalnya refrigeran identifier dan halon identifier, menjadi sangat penting agar petugas mengetahui secara pasti jenis gas yang ada di dalam tanki penyimpanan bahan kimia. KLH dalam waktu dekat akan memfasilitasi penyediaan identifier tersebut untuk digunakan dalam kegiatan pengawasan BPO,” lanjut Witoelar.

Terkait dengan keputusan percepatan penghapusan HCFC yang telah diadopsi dalam pertemuan negara para pihak pada 2007 yang lalu, ia menghimbau kalangan industri untuk meninjau ulang kegiatan produksinya yang masih menggunakan HCFC dan mengkaji penerapan alternatif pengganti HCFC. Dalam waktu empat tahun kedepan, yaitu mulai 1 Januari 2013, Indonesia sudah harus membekukan konsumsi HCFC pada tingkat rata-rata konsumsi tahun 2009-2010.

“Pemerintah akan berupaya maksimal melakukan negosiasi pada pertemuan-pertemuan internasional guna memastikan bahwa kepentingan masyarakat dan dunia usaha di Indonesia bisa tertampung dalam setiap keputusan yang diambil oleh negara pihak,” tegasnya.

Untuk mendukung hal itu, komunikasi dan kemitraan yang baik dengan asosiasi industri dan kelompok masyarakat pengguna HCFC menjadi penting, agar pemerintah mempunyai data dan informasi yang cukup sebagai bekal untuk melakukan negosiasi di tingkat internasional. Selain itu kajian mengenai ketersediaan pengganti HCFC di Indonesia juga penting untuk dilaksanakan segera, dengan memperhatikan aspek teknis dan ekonomisnya.

Laporan para ilmuwan yang memprediksi bahwa lapisan ozon baru akan pulih mendekati kondisi normal pada sekitar tahun 2050, menjadi bukti bahwa perbaikan lingkungan yang terlanjur rusak atau tercemar memerlukan waktu yang panjang, usaha yang besar serta biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, upaya yang telah dirintis selama 21 tahun untuk memulihkan lapisan ozon hendaknya terus dilaksanakan secara konsisten oleh kita semua.

Praktek-praktek pelepasan BPO ke udara bebas yang dilakukan dengan alasan kemudahan, kepraktisan atau menghindari konsekuensi biaya harus segera ditinggalkan karena akan memperlemah kemajuan yang telah berhasil dicapai.
posted by Blog Treeya @ 10:19 PM   0 comments

baca selengkapnya..
Benarkah Investasi Kelapa Sawit Sejahterahkan Rakyat Papua?
Dominggus A Mampioper - 03 Apr 2008
Meskipun Papua memiliki dana Otsus besar, sumber daya alam (SDA) yang melimpah tetapi kenyataannya rakyat Papua masih miskin. Berbagai upaya untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan pun dilakukan. Di antaranya dengan masuknya perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Adanya perusahaan ini diharapkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat seperti Kabupaten Keerom Distrik Arso Timur menjadi lebih baik.
Seperti saat mencanangkan investasi kelapa sawit di kabupaten tersebut, Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH menegaskan bahwa masyarakat akan lebih sejahtera dengan hasil kayu dan uang yang masuk diperuntukkan bagi rakyat selain perusahaan mendapat keuntungan. "Ini kebijakan di bidang kehutanan untuk kepentingan masyarakat," ujar Suebu.
Sementara itu Daryoto Setiawan, Pimpinan PT Rajawali Group yang telah menanamkan investasi perkebunan kelapa sawit di Distrik Arso Timur seluas 26.300 ha mengatakan bahwa tanah tetap menjadi hak ulayat masyarakat dan masyarakat lokal tetap menjadi prioritas dalam perkebunan kelapa sawit sebagai karyawan di perusahaan ini.
Ke depan pihaknya juga akan melakukan program-program pemberdayaan bagi masyarakat antara lain memberikan bantuan. Salah satunya fasilitas untuk mengusahakan hasil hutan seperti kayu yang merupakan hasil pembukaan kelapa sawit selama empat tahun produktivitas kelapa sawit, sejak ditanam hingga produktif.
Dia juga menambahkan, lahan yang diberikan tidak semuanya digarap karena sebagian masih berupa hutan rakyat, hutan yang disakralkan, sebagian untuk rumah penduduk dan sebagainya. Namun menurut Edison Robert Giay Direktur PT PPMA Papua, masalah tanah adat perlu dilakukan pemetaan dan kesepakatan antara perusahaan dan juga masyarakat. "Kalau pun ada MoU antara perusahaan dengan pihak pemerintah kabupaten maupun provinsi, maka perlindungan terhadap penduduk asli atau masyarakat setempat menjadi tanggungjawab pemerintah," ujar Giay.
Merubah Pola Hidup
Pembukaan lahan kelapa sawit di wilayah Arso Kabupaten Keerom bukanlah sesuatu yang baru dilakukan. Kehadiran PIR Kelapa Sawit jelas merubah hutan menjadi kebun serta kebiasaan hidup masyarakat setempat. Beberapa warga tokoh masyarakat menuturkan, dulu sebelum ada PIR Kelapa Sawit di Arso tidak sulit memperoleh daging. Binatang buruan begitu dekat dan sangat jinak. Suara burung dan hewan bagaikan radio yang selalu mendendangkan nyanyian fajar. Suara-suara mereka mengantarkan tidur nyenyak di waktu malam dan membangunkan di waktu pagi hari.
"Kicauan burung dan suara jangkrik di hutan rimba membawa kebahagiaan tersendiri," ujar generasi tua di Keerom mengenang saat-saat hutan rimba di wilayah Arso.
Puluhan tahun lalu begitu gampang untuk berburu. Tak perlu berjalan jauh untuk memperoleh daging rusa, kasuari, babi hutan, burung burung, tikus tanah, dan bermacam ikan air tawar.
Pastor Jhon Jonga menuturkan, kesaksian warga Arso tentang pengetahuan dan membaca tanda-tanda alam begitu mendalam. Bunyi atau suara binatang itu bisa memberikan tanda kebahagian atau sebaliknya tanda duka.
Kini semuanya telah berubah. Binatang buruan semakin menjauh dan menjadi liar. Kalau mau berburu harus berjalan hingga berkilo-kilo meter karena binatang buruan sudah lari dan mungkin menyeberang ke Papua New Guinea (PNG).
Sagu, makanan pokok orang Arso pun ikut tergusur. Dalam mitologi masyarakat Keerom, sagu mempunyai arti yang sangat mendalam. Sagu bukan hanya sebatang pohon yang menghasilkan papeda. Tetapi sagu itu merupakan bagian dari hidup mereka dan memiliki nilai keramat. Namun sebaran sagu di wilayah Arso sudah ditebang habis dan kini yang tinggal hanya bentangan palm kelapa sawit saja.
Bukan itu saja masuknya PIR Kelapa Sawit telah membuat hilangnya ribuan hektar bahan bangunan mulai dari pohon, tali rotan pengikat kayu dan lain sebagainya. Pastor Jhon Jonga dalam tulisannya berjudul Dampak PIR Kelapa Sawit Arso terhadap ruang gerak masyarakat lokal Arso menyimpulkan bahwa hilangnya protein hewani bagi masyarakat Arso yang telah menghayati pola hidup menyatu dengan alam dan terarah pada pola hidup konsumtif, hilangnya ratusan hektar dusun sagu milik masyarakat Arso berarti mencabut akar kehidupan dan sumber hidup orang Arso.
Sumber bahan bangunan seperti kayu yang tersedia dalam ribuan kubik menjadi punah. Meskipun banyak janji dan harapan dari masuknya investasi perkebunan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, namun fakta telah menunjukkan bahwa pembangunan yang diharapkan, seperti diungkapkan Pastor Jhon Jonga, perkebunan sawit justru akan memiskinkan masyarakat lokal dan memunculkan peramu modern yang mengikis dan meramu di atas keluguan kaum peramu lokal. Semoga Kelapa Sawit di Arso Timur berbeda dengan pengalaman pahit masyaakat di Arso PIR Sawit.
posted by Blog Treeya @ 10:14 PM   0 comments

baca selengkapnya..
Moratorium Konversi Lahan Demi Keberlanjutan Hidup di Bali
Somasi-KP - 21 Oct 2008
Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Pangan (Somasi-KP) menyampaikan rekomendasi atas permasalahan Bali kepada DPRD Bali. Senin kemarin rekomendasi langsung diterima oleh Ketua Komisi II bersama enam orang anggota Komisi II. Demikian disampaikan Agung Wardana dari Wahana Lingkungan Hidup Bali (Walhi Bali) dalam emailnya yang diterima beritabumi.or.id, Senin (20/10).
“Pada prinsipnya Komisi II sepakat dengan rekomendasi yang kami ajukan dan berjanji akan menindaklanjuti dan menjadikannya rekomendasi DPRD kepada Gubernur Bali,” kata Wardana.
Di dalam rekomendasi itu disebutkan bahwa suatu hari Bali akan menuju kerawanan pangan, mengingat kebutuhan yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan produksi beras. Pada 2004, jumlah produksi beras yang dihasilkan oleh seluruh petani Bali mencapai 498.224 ton atau mengalami penurunan sebesar minus 0,62 persen dari tahun 2003. Sedangkan konsumsi beras yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali tahun 2004 mencapai 396.618,87 ton atau mengalami peningkatan sebesar 0,29 persen dari tahun 2003 yang mencapai 395.460 ton.
Sementara luas lahan persawahan di Bali pada 2005, jika dibandingkan dengan 2004 mengalami penurunan sebesar 1,08 persen atau 885 hektar. Tahun 2006, luas sawah Bali yakni 80.997 hektar mengalami penurunan sekitar 213 hektar.
Masalah krisis air pun terjadi merata di wilayah Bali, kecuali lokasi tertentu yang masih dekat danau, rata-rata debit air di sejumlah sungai, waduk, dan danau dilaporkan telah turun drastis setiap tahun khususnya bulan Agustus sampai Oktober. Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, sejak tahun 1995 defisit air telah terlihat di Bali sebanyak 1,5 miliar m³ per tahun. Defisit terus meningkat hingga 7,5 miliar m³ per tahun pada 2000. Kemudian, diperkirakan pada 2015 defisit air di Bali akan mengakibatkan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar m³ per tahun.
Sedangkan menurut laporan LP3B (Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali), satu keluarga Bali memerlukan air rata-rata 100 liter per hari, sedangkan kamar hotel membutuhkan, 2.000 liter per hari per kamar yang tercatat sebanyak 15.906 unit (1999) membutuhkan air rata-rata 3.181.200 liter per hari, dan setiap lapangan golf 18 Hole membutuhkan 3.000.000 liter perhari. Belum lagi jumlah kebutuhan rumah tangga mencapai 76.335.000 liter untuk 7763.550 Kepala Keluarga (KK). Hal ini menunjukkan kepada kita apa yang akan terjadi pada Bali ditahun-tahun mendatang.
Selanjutnya, menurut pengamatan Walhi Bali dari tahun 2006 – 2007 saja, sejumlah daerah tercatat mengalami krisis air, antara lain: Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida. Persoalan krisis air di Bali berdampak pada kehidupan sosial. Krisis air di Bali telah memicu konflik antar warga dengan warga, petani dengan petani, petani dengan perusahaan air minum.
Beberapa kasus konflik masalah air yang muncul di media lokal antara lain; ketegangan antara warga subak dengan pihak swasta di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Warga subak dengan perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Dan, antara warga masyarakat dengan pemerintah kabupaten Telaga Tunjung, Kabupaten Tabanan.
Bali merupakan pulau kecil yang berada dalam ekspansi industri pariwisata yang terus menerus mengalami degradasi. Penurunan jumlah lahan produktif akan terus menerus terjadi seiring dengan semakin pesatnya ekspansi investasi yang boros lahan, dan ketidaan perlindungan terhadap sektor pertanian di Bali.
Terkait dengan Hari Pangan Se-dunia yang jatuh pada 16 Oktober lalu, merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mulai memikirkan masa depan bangsa ini dari sektor pangan. Karena pangan merupakan kebutuhan mendasar rakyat yang harus dijamin negara dan kedaulatan pangan akan sangat menentukan kedaulatan bangsa.
Untuk itu, Somasi-KP mendorong Pemerintah Provinsi Bali dan seluruh pemerintah Kabupaten/ Kota di Bali untuk segera melakukan moratorium (jeda) alih fungsi lahan produktif. Jeda ini dilakukan dengan jalan menghentikan sementara waktu ekspansi dari investasi yang boros lahan dan boros sumber daya alam. Pada saat jeda dilakukan, kegiatan pembangunan lebih diarahkan pada penyelesaian konflik agraria dan konflik perebutan sumber daya alam; melakukan evaluasi atas daya dukung dan daya tampung Bali; melakukan penataan kerusakan sendi kehidupan dan lingkungan hidup akibat kesalahan pengelolaan tanah Bali selama ini; dan menyusun cetek biru pembangunan Bali kedepan yang lebih baik, adil dan berkelanjutan dengan pendekatan bio-regionalisme.
Pada saat jeda, kegiatan pembangunan juga dilakukn dengan mengeluarkan kebijakan perlindungan (konservasi) lahan produktif untuk menjamin ketersediaan pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan di Bali. Kebijakan tersebut memuat antara lain pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi lahan pertanian di wilayah konservasi yang dimiliki oleh petani kecil; mengambil lahan yang ditelantarkan investor dan spekulan tanah untuk digarap oleh petani yang tidak memiliki lahan; mendorong pertanian berkelanjutan dengan meninggalkan pertanian berbasis agrokimia dan transgenik; melakukan perlindungan kawasan ekologi genting Bali, yakni kawasan hutan, danau, daerah aliran sungai, pesisir dan pulau-pulau kecil Bali.
Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Pangan (Somasi-KP) terdiri dari PBHI Bali, WALHI Bali, LIMAS, APA Bali, PSI Bali, Yayasan WISNU, Mitra Kasih, LBH Bali.
posted by Blog Treeya @ 10:04 PM   0 comments
about me
My Photo
Name:
Location: DIY, Jogja, Indonesia
Udah Lewat
Archives
sutbok
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.
judul

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.

Links
Template by
Free blogger Templates